Indonesia Fokus pada Energi Terbarukan untuk Tambahan Sumber Listrik
Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah secara resmi mengumumkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk periode 2025-2034 pada Senin, 26 Mei 2025.
Dalam RUPTL terbaru ini, pemerintah menetapkan bahwa sebagian besar tambahan pembangkit listrik baru akan bersumber dari Energi Baru Terbarukan (EBT), dengan total mencapai 76% dari kapasitas pembangkit listrik baru yang direncanakan hingga 2034.
Dari rencana total tambahan pembangkit sebesar 69,5 Giga Watt (GW), 76% akan bersumber dari EBT, dimana 42,6 GW akan berasal dari pembangkit berbasis EBT atau setara 61%, sementara 10,3 GW atau setara 15% akan berasal dari sistem penyimpanan baterai dari energi terbarukan, seperti PLTA Pumped Storage dan baterai.
Kapasitas besar dari pembangkit berbasis energi terbarukan ini tentunya memerlukan dana investasi yang besar. Hal ini menjadi perhatian dari Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI).
Ketua Umum APLSI, Arthur Simatupang, menyatakan bahwa investasi awal untuk pembangunan tambahan EBT di Indonesia cukup besar dan memerlukan dukungan dari lembaga keuangan.
“Investasi EBT memang membutuhkan dana besar di awal, oleh karena itu diperlukan dukungan dari lembaga pendanaan yang signifikan di sini,” ungkapnya kepada PANGKEP NEWS dalam program Energy Corner, Rabu (28/5/2025).
Meski begitu, tambahan EBT dalam jumlah besar selama 10 tahun ke depan juga harus disertai dengan mitigasi risiko yang mungkin terjadi, yang akan menjadi nilai tambah agar proyek EBT di Indonesia dapat menarik minat lembaga keuangan.
“Kita perlu melihat dari perspektif lembaga perbankan bagaimana proyek ini dapat memitigasi risiko yang ada,” tambahnya.
Selain mitigasi risiko, ia menekankan bahwa proyek tambahan EBT harus didukung dengan kebijakan yang konsisten di dalam negeri.
“Peraturan regulasi sebaiknya tidak sering berubah agar menciptakan iklim usaha yang stabil dan memberikan kepastian bagi investor, yang tentunya akan tercermin dalam risiko yang ada,” tegasnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa RUPTL PLN 2025-2034 membuka potensi investasi hingga Rp 2.967,4 triliun hingga 2034, yang terbagi dalam beberapa sektor.
“Potensi investasi dari 2025 hingga 2034 adalah sebesar Rp 2.967,4 triliun,” kata Bahlil dalam Konferensi Pers terkait RUPTL PLN 2025-2034 di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (26/5/2025).
Ia merinci bahwa investasi tersebut mencakup pembangunan pembangkit listrik dengan nilai Rp 2.133,7 triliun, kemudian penyaluran untuk transmisi, gardu induk, distribusi, dan listrik desa sebesar Rp 565,3 triliun, serta lainnya sebesar Rp 268,4 triliun.
Bahlil menambahkan, pada periode 2025-2029, total investasi yang dibutuhkan diperkirakan mencapai Rp 1.173,94 triliun, sementara pada periode kedua yakni 2030-2034 diperkirakan mencapai Rp 1.793,48 triliun.
“Memang harus dua kali. Supaya ada kesinambungan tidak boleh diubah. Kenapa ini kita rinci agar tidak tumpang tindih dan tidak ada pesan-pesan di belakang meja,” jelasnya.
Dari sisi investasi di sektor pembangkit listrik sebesar Rp 2.133,7 triliun, akan didominasi oleh produsen listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) dengan porsi sekitar 73% atau senilai Rp 1.566,1 triliun. Dari jumlah tersebut, porsi EBT mencapai Rp 1.341,8 triliun dan Non-EBT sebesar Rp 224,3 triliun.
“Dari sini kita lihat investasinya khusus pembangkit IPP-nya Rp 1.566,1 triliun, yang merupakan investasi swasta. PLN Rp 567,6 triliun,” ungkapnya.