Banyak PSK di Ibu Kota, Pemerintah Buka Lokalisasi
Jakarta, PANGKEP NEWS Indonesia – Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) telah melakukan penertiban terhadap 64 wanita yang diduga sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) di sekitar Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, sepanjang tahun 2025.
Dikutip dari CNN Indonesia, para pelaku praktik prostitusi ini berasal dari Samarinda, Balikpapan, hingga wilayah luar Kalimantan seperti Bandung, Makassar, dan Yogyakarta. Satpol PP kemudian menginstruksikan mereka untuk segera meninggalkan area IKN dalam kurun waktu 2-3 hari.
Lokalisasi Prostitusi
Keberadaan pekerja seks di ibu kota negara bukanlah hal baru. Dulu, Jakarta sebagai ibu kota Indonesia juga sempat diramaikan oleh aktivitas prostitusi. Bedanya, lima dekade lalu, pemerintah daerah menyikapinya dengan membuka lokalisasi meski menuai kontroversi.
Sejak 1960-an, Jakarta mengalami gelombang urbanisasi besar-besaran. Penduduk dari berbagai daerah di Nusantara berdatangan ke ibu kota untuk mencari peruntungan. Namun, hal ini juga membawa konsekuensi sosial dan ekonomi, termasuk meningkatnya praktik prostitusi.
Pada waktu itu, tempat prostitusi menjamur di seluruh sudut Jakarta, terutama di pusat-pusat ekonomi seperti area perkantoran, pelabuhan, hingga stasiun kereta. Para PSK biasanya berdiri di pinggir jalan menunggu pelanggan.
Ada juga yang menggunakan becak untuk menawarkan jasa mereka. Dalam praktik yang dikenal sebagai ‘becak komplet’, PSK bekerja sama dengan tukang becak untuk mencari pelanggan.
Fenomena ini membuat wajah Jakarta tampak semrawut dan kumuh, serta memunculkan masalah sosial yang kompleks. Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin (1966-1977), melihat situasi ini sebagai masalah serius yang harus segera diatasi, terutama karena banyak PSK masih di bawah umur.
Dalam autobiografinya berjudul Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1994), Ali menyatakan, ‘Saya ngilu menyaksikannya. Di antara wanita-wanita itu ada anak-anak kecil yang masih belasan tahun umurnya.’
Berbagai usulan muncul, mulai dari pemberdayaan hingga pelatihan kerja bagi PSK. Namun, semua itu dianggap tidak realistis mengingat jumlah mereka yang mencapai ribuan dan terbatasnya anggaran pemerintah.
Saat berkunjung ke Bangkok, Thailand, Ali Sadikin melihat pendekatan yang dianggap memungkinkan, yakni lokalisasi. Di Bangkok, prostitusi tidak dilakukan di jalanan, melainkan di kawasan resmi yang dikelola pemerintah.
Setelah kembali dari Thailand, Ali memutuskan untuk menerapkan konsep serupa di Jakarta. Langkah ini dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur No. Ca.7/1/13/70 tertanggal 27 April 1970.
Pemerintah DKI Jakarta kemudian memilih Kramat Tunggak di Jakarta Utara sebagai lokasi lokalisasi. Pejabat lokal diminta menutup praktik prostitusi di berbagai wilayah Jakarta dan memindahkan PSK ke sana.
Bagi Ali, lokalisasi adalah opsi paling realistis. Pemerintah tidak memiliki sumber daya untuk menghapus praktik prostitusi, apalagi mempekerjakan ribuan PSK di sektor pekerjaan yang layak.
Menuai Kontroversi
Dalam autobiografi lain berjudul Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi (2012), Bang Ali mengakui bahwa kebijakan lokalisasi menuai kritik. Banyak yang menuduhnya membiarkan eksploitasi perempuan dan memperkuat stigma sosial terhadap mereka.
‘Mereka mengartikan pikiran dan tindakan saya itu memperbolehkan eksploitasi manusia atas manusia, merendahkan derajat wanita dan menjauhkan kemungkinan rehabilitasi bagi wanita yang sadar,’ kenang Ali Sadikin.
Namun, Ali memiliki alasan kuat di balik keputusannya. Dia memandang lokalisasi sebagai cara untuk membatasi ruang gerak PSK agar lebih mudah dibina. Selain itu, dengan sistem ini, aspek kesehatan dapat lebih dikontrol karena pemerintah mewajibkan pemeriksaan rutin setiap bulan.
Meski begitu, kritik terus berdatangan. Banyak yang menentang kebijakan ini dari sudut pandang moral dan agama.
Dalam riset Lokalisasi Kramat Tunggak pada Masa Gubernur Ali Sadikin: 1971-1977 (2011) tercatat, sebagian kalangan pemuka agama menganggap Ali telah melegalkan perzinahan. Namun, ada juga ulama yang mendukung lokalisasi asalkan kebijakan tersebut bertujuan menyelesaikan masalah prostitusi secara tuntas, bukan hanya pembiaran.
Perdebatan soal lokalisasi berakhir pada 1999 ketika pemerintah DKI Jakarta menutup tempat prostitusi seluas 12 hektar tersebut dan mengubahnya menjadi pusat keagamaan.