Jakarta –
Indikasi penurunan ekonomi Indonesia semakin terlihat. Peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) telah mengidentifikasi beberapa buktinya.
Deni Friawan, Peneliti Senior di Departemen Ekonomi CSIS, menjelaskan bahwa indikasi pertama terlihat dari melemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada kuartal pertama tahun 2025, pertumbuhan hanya mencapai 4,87% secara tahunan.
Pertumbuhan ini menurun dari kuartal keempat 2024 yang mencapai 5,02%, dan bahkan lebih rendah dibandingkan dengan kuartal pertama 2024 yang sebesar 5,11%.
“Saat ini, kami dapat menyimpulkan bahwa meskipun belum gelap gulita, awan mendung sudah mulai terlihat,” ujar Friawan dalam konferensi pers bertajuk “Setengah Tahun Pemerintahan Prabowo”, Rabu (7/5/2025).
Masalah penurunan pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh melemahnya konsumsi rumah tangga, yang merupakan komponen utama struktur ekonomi Indonesia. Penurunan konsumsi ini mencerminkan daya beli masyarakat yang semakin berkurang.
Konsumsi rumah tangga, yang berkontribusi sebesar 54,53% terhadap PDB Indonesia pada kuartal pertama 2025, hanya tumbuh 4,89% yoy, jauh lebih rendah dibandingkan empat kuartal tahun sebelumnya yang sudah di bawah 5% pada kisaran 4,9%.
Terakhir kali konsumsi rumah tangga tumbuh di atas 5% adalah pada kuartal ketiga 2023, sebesar 5,05%. Setelah itu, pada kuartal keempat 2023 hanya tumbuh 4,47%, kuartal pertama 2024 tumbuh 4,91%, kuartal kedua 2024 sebesar 4,93%, kuartal ketiga 2024 menjadi 4,91%, dan kuartal keempat 2024 sebesar 4,98%.
“Tidak bisa kita pungkiri bahwa pelemahan daya beli memang terjadi. Hal ini terlihat dari data inflasi inti dan komponen inflasi lainnya yang juga mengalami perlambatan,” tegasnya.
Ekspor juga diperkirakan sulit menjadi penopang pertumbuhan ke depan, karena perang tarif dagang yang dilakukan Presiden AS Donald Trump terhadap negara-negara mitra, termasuk China, telah mengganggu aktivitas ekspor impor global.
Perlambatan ekonomi ini semakin diperparah dengan ketahanan eksternal Indonesia yang melemah. Nilai tukar rupiah sering kali melemah ketika indeks dolar justru mengalami tekanan akibat perang dagang.
“Dari sisi eksternal, nilai tukar kita terus melemah sejak Prabowo memegang kekuasaan. Hingga saat ini, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi hingga Rp 16.858/US$ atau sebesar 9,5% sejak awal Prabowo berkuasa,” kata Deni.
Dari sisi ketahanan fiskal, situasinya juga semakin memburuk, terlihat dari belanja pemerintah yang menjadi komponen pertumbuhan malah menunjukkan penurunan. Hal ini disebabkan oleh kontraksi penerimaan negara yang terus terjadi dan perencanaan anggaran yang kurang teknokratis.
“Efisiensi anggaran pasca ketiadaan APBN definitif tidak hanya melemahkan kepercayaan pelaku ekonomi, tetapi juga menimbulkan masalah tata kelola,” ujar Deni.
Yang paling mengkhawatirkan adalah kerentanan ekonomi di sektor riil yang tak kunjung membaik. Semakin banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) mengurangi daya beli masyarakat, yang kembali tercermin dari melemahnya konsumsi rumah tangga.
“Berdasarkan data yang kami sampaikan, kita dapat menyatakan bahwa ekonomi kita memang belum hujan deras, tetapi awan mendung sudah ada. Jika tidak ada antisipasi perbaikan dari pemerintah, kegelapan itu menjadi sebuah kemungkinan,” tegas Deni.