Posted On April 26, 2025

Logam Tanah Jarang: Senjata Ekonomi China Terhadap Amerika Serikat

Hesti Nuraini 0 comments
BERITA PANGKEP >> ekonomi >> Logam Tanah Jarang: Senjata Ekonomi China Terhadap Amerika Serikat
jadi senjata mematikan china lawan as apa itu logam tanah jarang

Jakarta, PANGKEP NEWS

Logam tanah jarang kini menjadi alat strategis China dalam menghadapi Amerika Serikat (AS) di tengah perselisihan perdagangan. Sejak April 2025, China telah menerapkan pembatasan ekspor untuk tujuh unsur logam tanah jarang serta magnetnya, yang memerlukan izin khusus untuk diekspor.

Tindakan ini adalah balasan terhadap tarif AS sebesar 145%, yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman dari pelabuhan China dan berdampak besar pada industri AS seperti pertahanan, kendaraan listrik, dan teknologi medis.

AS sangat bergantung pada China untuk pasokan logam tanah jarangnya, dengan lebih dari setengah mineral pentingnya berasal dari sana. Pembatasan ini mengancam sektor pertahanan AS (seperti jet F-35 dan rudal), teknologi (smartphone, chip AI), dan layanan kesehatan (mesin MRI, pengobatan kanker).

Para analis memperingatkan kemungkinan terjadinya kelangkaan, kenaikan harga, dan keterlambatan pasokan, bahkan ada prediksi bahwa beberapa perusahaan mungkin menghadapi pemutusan pasokan secara permanen.

Apa itu Logam Tanah Jarang?

Logam tanah jarang adalah kelompok 17 unsur logam dengan sifat kimia yang mirip, meliputi skandium, yttrium, dan 15 unsur lantanida. Unsur-unsur ini sangat penting untuk teknologi modern.

Meskipun disebut ‘tanah jarang’, unsur-unsur ini sebenarnya cukup melimpah di kerak bumi, tetapi jarang ditemukan dalam konsentrasi tinggi yang layak untuk penambangan ekonomi.

Etimologi dari ‘tanah jarang’ tidak mengacu pada sedikitnya jumlah unsur ini. Beberapa logam tanah jarang seperti serium dan neodimium lebih melimpah daripada perak, timbal, dan timah di kerak bumi.

Namun, karena penyebaran geokimia yang merata dan jarangnya konsentrasi besar di satu lokasi, sulit untuk menemukan deposit utama logam tanah jarang, sehingga seringkali tidak ekonomis untuk ditambang secara tersendiri.

Logam tanah jarang menarik perhatian dunia karena perannya dalam teknologi tinggi. Mereka terdiri dari 15 unsur lantanida ditambah skandium dan yttrium, dan sifat magnetik, luminesens, serta elektrokimianya yang unik menjadikannya penting untuk berbagai aplikasi teknologi tinggi.

LTJ terbentuk pada mineral pembentuk batuan dan biasanya terakumulasi pada mineral-mineral aksesoris pada batuan asam seperti granitoids, contoh pada monasit, senotim, allanit, titanit, dan zircon.

Dengan potensi yang luas, logam tanah jarang digunakan dalam magnet permanen untuk mobil listrik dan turbin angin, monitor LED, handphone, laptop, kamera, kulkas, lampu LED, earphone, kacamata, dan sepeda listrik. Oleh karena itu, banyak negara berlomba-lomba memanfaatkan LTJ demi keuntungan dalam negeri.

Sering disebut sebagai ‘vitamin industri modern’, logam tanah jarang tidak tergantikan dalam aplikasi teknologi tinggi, mulai dari smartphone dan baterai kendaraan listrik hingga sistem militer canggih dan infrastruktur energi terbarukan. Namun, rantai pasok logam tanah jarang sangat terkonsentrasi, dengan China mendominasi produksi dan pemrosesan global.

Dominasi ini telah menjadikan tanah jarang sebagai alat geopolitik yang kuat, terutama dalam perang dagang, paling menonjol antara Amerika Serikat dan China.

China, Penguasa Logam Tanah Jarang

Sejak tahun 1980-an, China secara strategis mengembangkan industri logam tanah jarangnya. Dengan menawarkan harga rendah dan menanggung biaya lingkungan, China kini menguasai dua pertiga produksi global.

Menurut survei geologi AS pada 2022, China menghasilkan sekitar 70% tambang unsur tanah jarang global, memproses lebih dari 90% pasokan dunia, dan menguasai 90% produksi magnet permanen berbasis tanah jarang.

Dominasi ini memberi China pengaruh besar dalam konflik dagang. Contohnya, pada 2010 China membatasi ekspor logam tanah jarang ke Jepang akibat perselisihan wilayah, menyebabkan lonjakan harga global. Ini menunjukkan kesiapan China untuk menggunakan REE sebagai senjata geopolitik.

Amerika sangat rentan terhadap kebijakan unsur tanah jarang dari China karena berbagai alasan. Sekitar 70% impor unsur tanah jarang AS antara 2020-2023 berasal dari China. Militer AS, termasuk jet F-35, rudal Tomahawk, dan drone Predator, sangat bergantung pada unsur tanah jarang berat. Sektor manufaktur, khususnya pertahanan dan teknologi tinggi, menghadapi risiko keterlambatan dan kenaikan harga.

AS hanya memiliki satu tambang unsur tanah jarang aktif, namun tidak mampu memproses unsur tanah jarang berat. Bijihnya masih dikirim ke China untuk pemrosesan.

Sejak tahun 1980-an, industri unsur tanah jarang AS melemah setelah China mendominasi pasar global. Hal ini menjadi alasan Presiden Trump mendorong kerja sama mineral dengan Ukraina dan bahkan menunjukkan ketertarikan pada Greenland, wilayah dengan cadangan unsur tanah jarang terbesar ke-8 di dunia.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia mulai serius menggarap potensi logam tanah jarang, terutama dari hasil tambang zirkonium dan thorium. Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), telah mengungkapkan hal ini.

Indonesia memiliki logam tanah jarang di beberapa lokasi dengan total cadangan 1,5 miliar ton, seperti monasit, senotim, zirkonium silikat, rare earth ferotitanat, bijih nikel laterit, dan potensi lainnya.

Berdasarkan ‘Kajian Potensi Mineral Ikutan pada Pertambangan Timah’ yang dirilis Kementerian ESDM pada 2017, logam tanah jarang ini tersebar di beberapa daerah, antara lain Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, dan Papua.

Kendati total cadangan LTJ Indonesia sebesar 1,5 miliar ton, namun pada dasarnya LTJ dapat dihasilkan dari produk samping timah, contohnya adalah monasit dan senotim.

Dilansir dari Booklet Kementerian ESDM 2020, Indonesia telah memiliki sumber daya monasit sebesar 185.179 ton logam yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi cadangan. Sedangkan untuk senotim, Indonesia telah memiliki sumber daya senotim sebesar 20.734 ton logam yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi cadangan.

Namun, Indonesia belum melakukan eksplorasi lebih lanjut, sehingga belum diketahui pasti jumlah cadangannya. Dengan demikian, Indonesia juga belum memproduksi logam tanah jarang ini.

PANGKEP NEWS RESEARCH

Related Post

Kondisi Terkini Bank Muamalat: Pembiayaan Menurun, NPF Meningkat, dan Modal Berkurang

Kondisi Terkini Bank Muamalat: Pembiayaan Menurun, NPF Meningkat, dan Modal BerkurangJakarta, PANGKEP NEWS - PT…

Kemerosotan Rupiah Sebabkan Cadangan Devisa RI Menurun US$4,6 Miliar

Jakarta – Fluktuasi Nilai Tukar RupiahPenurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjadi…

Rupiah Tertekan ke Rp16.826 pada Sore Hari

Rupiah Tertekan ke Rp16.826 pada Sore HariKurs mata uang rupiah mengalami pelemahan sebanyak 40 poin…