Jakarta, PANGKEP NEWS
Di Indonesia, para pengusaha mengidentifikasi berbagai masalah yang berkontribusi pada perlambatan pertumbuhan ekonomi negara. Hingga kuartal pertama 2025, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,87%.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menyatakan dalam Media Briefing Apindo di Jakarta, Rabu (14/5/2025), bahwa tantangan ekonomi pada kuartal pertama 2025 semakin berat.
Menurut Shinta, faktor utama yang menahan pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 5% adalah penurunan daya beli masyarakat. Ini terlihat dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang, meskipun didorong oleh faktor musiman seperti Ramadan dan Lebaran 2025, tetap di bawah 5%.
Konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional, hanya tumbuh 4,89% pada kuartal pertama 2025, angka terendah selama lima kuartal terakhir. Padahal, kuartal ini mencakup periode Ramadan, yang biasanya menjadi pendorong utama belanja masyarakat.
Shinta menegaskan bahwa Ramadan tahun ini terasa berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Masalah kedua adalah kebijakan fiskal pemerintah yang tidak mampu ekspansif di tengah perlambatan ekonomi domestik. Pada awal tahun ini, kebijakan fiskal pemerintah menunjukkan kecenderungan kehati-hatian, dengan penurunan belanja pemerintah sebesar 1,38%.
Investasi juga menunjukkan tren penurunan, dengan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) hanya tumbuh 2,12% pada kuartal pertama 2025. Ini adalah pertumbuhan investasi terendah dalam dua tahun terakhir, menurut Shinta.
Penurunan ini disebabkan oleh dua faktor utama: sikap menunggu dari investor selama transisi pemerintahan dan ketidakpastian global, serta masalah struktural yang belum terselesaikan, seperti iklim investasi yang belum cukup ramah, regulasi yang dinilai rumit, dan keterlambatan implementasi reformasi struktural yang lebih dalam.
Di lapangan, pelaku usaha juga menghadapi tantangan operasional seperti tingginya biaya logistik, hingga gangguan terhadap keamanan berusaha.
Kinerja ekspor pun tidak memberikan kontribusi yang signifikan, mengalami penurunan sebesar 7,53% secara kumulatif dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penyebabnya antara lain penurunan harga komoditas dan melemahnya permintaan dari mitra dagang utama seperti Tiongkok dan Uni Eropa.
Terakhir, Shinta menyebutkan bahwa ketidakstabilan nilai tukar rupiah menjadi masalah lain yang berkontribusi pada penurunan ekonomi Indonesia pada awal 2025, dengan nilai tukar sempat mencapai Rp 17.000 per dolar AS sebelum kembali menguat ke sekitar Rp 16.500-an.
Tekanan ini disebabkan oleh ketegangan geopolitik global yang meningkatkan ketidakpastian di pasar keuangan, serta ekspektasi suku bunga tinggi di Amerika Serikat yang memicu arus modal keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam konteks ini, Shinta menilai ruang kebijakan moneter nasional juga terbatas. Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga dua kali sejak September 2024 untuk mendukung pemulihan, namun masih menghadapi keterbatasan ruang pelonggaran kebijakan.
Shinta menegaskan bahwa suku bunga di Indonesia termasuk yang tertinggi, dan ini menambah biaya kepatuhan. Dari segi biaya ekonomi, tidak hanya dilihat dari nilai yang tidak langsung, tetapi juga inefisiensi dalam operasional dan kepastian hukum.