Jakarta –
Sejak Maret 2024, Indonesia telah berhasil mengambil alih kembali pengelolaan wilayah udara di sekitar Kepulauan Riau dan Natuna dari Singapura melalui perjanjian terkait Penyesuaian Batas Flight Information Region (FIR agreement). Dengan ini, ruang udara FIR Indonesia kini mencakup 7.789.268 km persegi, yang terbagi menjadi Jakarta FIR dengan luas 2.842.725 km2 dan Ujung Pandang FIR seluas 4.946.543 km2.
Pembahasan mengenai hal ini diangkat dalam rapat kerja bersama Komisi V DPR pada Kamis (22/5/2025). “Setelah implementasi dari FIR agreement, luas FIR Indonesia meningkat sebesar 249.575 kilometer persegi, yang juga memberikan keuntungan berupa pengakuan internasional sebagai negara kepulauan,” ujar Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Lukman F. Laisa, di DPR, Kamis (22/5/2025).
Manfaat lain dari perluasan FIR ini adalah kemandirian dalam operasi pesawat udara milik negara seperti TNI, pesawat Polri, dan Bea Cukai, serta kerjasama sipil militer antara Indonesia dan Singapura, termasuk penempatan personel.
Implementasi izin diplomatik dan persetujuan penerbangan berdasarkan ketentuan Indonesia juga semakin diperkuat, yang berdampak pada peningkatan pendapatan negara terkait penyediaan layanan navigasi penerbangan di beberapa bandara baru, seperti bandara Siboru, bandara Singkawang, bandara Bolang Mongondo, bandara Panua Pohuwato, dan bandara IKN.
“Penerapan metode penerbangan langsung dari titik yang lebih efisien, melintasi FIR atau rute lintas batas yang disukai pengguna antara Jakarta FIR, Ujung Pandang FIR, Melbourne FIR, dan Brisbane FIR, memungkinkan pesawat untuk terbang langsung melalui titik efisien pada jalur terbangnya,” tambah Lukman.
Hal ini memberikan keuntungan bagi penerbangan berupa efisiensi untuk maskapai dan operator, seperti efisiensi jarak, waktu, dan pengurangan emisi karbon.
Berdasarkan data lalu lintas pesawat udara, terjadi peningkatan saat periode 2023 hingga 2025. Pada penerbangan internasional, lalu lintas pesawat dari Januari hingga April mengalami kenaikan 7% pada 2025 dibandingkan 2024, dan meningkat 35% dibandingkan 2023.
“Kenaikan ini disebabkan oleh pertumbuhan lalu lintas di kawasan Asia Pasifik,” jelas Lukman.
Di sisi lain, untuk penerbangan domestik, pada tahun 2025 terjadi penurunan 4% dibandingkan tahun 2024 dan 2023.
“Penurunan ini disebabkan adanya pilihan moda transportasi lain bagi masyarakat, seperti jalan tol dan kereta api,” ungkap Lukman.