Pengungkapan Mengejutkan Guru Besar Mengenai Manusia
Jakarta – Setiap tanggal 14 April, dunia memperingati Hari Kuantum Sedunia. Tahun 2025 juga ditetapkan sebagai Tahun Kuantum Internasional untuk mengenang perkembangan signifikan dalam fisika kuantum, yang dimulai dari konsep awal mekanika matriks oleh Werner Heisenberg, salah satu pilar utama dari mekanika kuantum modern.
Peringatan ini bukan hanya menjadi kesempatan untuk refleksi ilmiah, tetapi juga memicu diskusi baru tentang potensi hubungan antar makhluk hidup melalui fenomena keterbelitan kuantum. Selama seratus tahun terakhir, pemahaman fisika berdasarkan teori kuantum terhadap fenomena di skala mikroskopik, mulai dari ukuran atomik hingga molekular, telah menghasilkan berbagai teknologi canggih yang kita manfaatkan saat ini. Telepon pintar adalah salah satu contoh nyata kontribusi dari fisika, khususnya fisika kuantum.
Dalam tulisannya, Guru Besar Fisika Teori dari IPB University, Prof Husin Alatas, menjelaskan bahwa dunia kuantum penuh dengan fenomena aneh yang bertentangan dengan pengalaman manusia sehari-hari. Sebagai contoh, ketidakpastian Heisenberg menunjukkan bahwa posisi dan kecepatan partikel tidak bisa diketahui secara bersamaan dengan pasti, berbeda dengan benda makroskopik seperti bola.
Lebih lanjut, konsep superposisi menyatakan bahwa partikel dapat berada di banyak keadaan sekaligus hingga diukur. Pertanyaan filosofis seperti “Apakah partikel itu benar-benar ada sebelum diamati?” masih belum bisa dijawab secara pasti hingga hari ini.
Namun, yang paling mencengangkan adalah fenomena entanglement kuantum, di mana dua partikel identik seperti elektron dapat tetap terhubung meski berada di jarak yang sangat jauh. Ketika salah satu diukur, partikel lainnya langsung menunjukkan sifat kebalikannya dalam waktu bersamaan yang seolah memiliki “komunikasi instan” melampaui batas kecepatan cahaya.
Dalam perkembangan terbaru yang dirilis oleh Pusat Penelitian Fisika Partikel Elementer Eropa atau CERN, ilmuwan mengamati perilaku kolektif kawanan kambing yang menunjukkan gejala flocking (bergerak serempak) yang diduga berkaitan dengan keterbelitan kuantum antar individu kambing tersebut. Jika benar, temuan ini membuka pintu pada kemungkinan bahwa makhluk hidup seperti burung, ikan, bakteri, bahkan manusia pun bisa saling terhubung secara kuantum.
Fenomena ini berpotensi mengubah cara manusia memandang kehidupan dan hubungan antar makhluk. Jika keterbelitan kuantum dapat dimanfaatkan dalam konteks antar-organisme, tidak menutup kemungkinan teknologi masa depan dapat dirancang untuk keberlangsungan kehidupan dengan prinsip-prinsip kuantum sebagai fondasi.
“Apakah pemanfaatannya, melalui teknologi entah dalam bentuk apa, akan mampu menjamin keberlanjutan kehidupan di muka bumi? Hanya waktu yang akan menjawabnya,” tutup Prof Husin.