Perjalanan Jatuhnya Raja Ritel Indonesia yang Beralih ke Keluarga Riady
Jakarta, PANGKEP NEWS – Sektor ritel belakangan ini mengalami penurunan, termasuk Matahari Department Store yang juga merasakan dampaknya. Hal ini tercermin dari langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan sejumlah gerai akibat penurunan kinerja penjualan tahun lalu.
Perusahaan melaporkan penutupan 13 gerai yang berkinerja buruk selama tahun 2024. Berdasarkan laporan keuangan 2024, laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik PT Matahari Department Store Tbk. (LPPF) mencapai Rp 827,7 miliar, meningkat 22,54% dari tahun ke tahun (yoy).
Penjualan barang dagangan masih berada dalam tekanan, dengan total Rp12,30 triliun atau turun 1,95% yoy. Jika dirinci, semua lini penjualan mengalami penurunan, seperti penjualan eceran-gerai yang turun 1,85% yoy menjadi Rp3,66 triliun dan penjualan konsinyasi yang menurun 2% yoy menjadi Rp8,64 triliun.
Namun, penurunan pendapatan tersebut juga diimbangi dengan penurunan beban penjualan konsinyasi dan beban pokok pendapatan yang masing-masing menjadi Rp 5,90 triliun dan Rp 2,13 triliun. Beban usaha juga berhasil ditekan menjadi Rp2,97 triliun dan beban lain-lain turun menjadi Rp 262,9 miliar.
Melihat ke belakang, sebelum diambil alih oleh Lippo, Matahari awalnya adalah sebuah toko pakaian bernama Micky Mouse di Pasar Baru yang didirikan oleh Hari Darmawan pada tahun 1960. Toko Micky Mouse menjual pakaian impor dan merek buatan sendiri oleh istri Hari yang dikenal dengan nama MM Fashion.
Bisnis Micky Mouse berkembang pesat selama lima tahun pertama. Namun, Hari merasa iri dengan toko tetangga bernama De Zion yang selalu ramai dikunjungi orang-orang kaya. Upaya untuk meniru kesuksesan De Zion tidak membuahkan hasil.
Keinginan untuk mengakuisisi toko itu muncul kembali pada 1968 ketika kabar bahwa pemilik De Zion ingin menjual tokonya terdengar. Hari dengan segera membelinya.
Mengambil referensi dari Kristin Samah & Sigit Triyono dalam Filosofi Bisnis Matahari (2017), dengan pinjaman US$ 200 juta dari Citibank, Hari berhasil mengakuisisi dua toko De Zion di Jakarta dan Bogor. Nama De Zion kemudian diubah menjadi “Matahari”.
“De Zion dalam bahasa Belanda berarti Matahari,” ungkap Hari Darmawan, seperti dikutip Muhammad Ma’ruf dalam 50 Great Business Ideas From Indonesia (2010).
Untuk mengembangkan toko barunya, Hari meniru toko ritel Jepang, Sogo Department Store. Tujuannya adalah agar Matahari menjual pakaian selengkap mungkin sehingga konsumen dapat memilih produk terbaik dengan harga murah. Hasilnya, berkat strategi Sogo ini, Matahari mendapatkan banyak pengunjung dan berkembang pesat sepanjang tahun 1970-1980.
Gerainya tidak hanya menjual pakaian, tetapi juga perhiasan, tas, sepatu, kosmetik, peralatan elektronik, mainan, alat tulis, buku, dan lainnya. Perkembangan pesat ini memungkinkan Hari membuka gerai lain di luar kota pada tahun 1990-an.
Hampir di seluruh kota di Indonesia terdapat Matahari. Matahari sangat dikenal sehingga pada tahun 1989, PT Matahari Department Store Tbk secara resmi melantai di bursa saham dengan kode emiten LPPF.
Meskipun begitu, kejayaan Matahari tidak membuat Hari berpuas diri. Dia ingin menjadikan Matahari sebagai pusat bisnis ritel terkemuka di Indonesia dengan ambisi besar: membuka 1.000 gerai Matahari.
Keinginan ini terdengar oleh James Riady, bankir muda dan anak dari konglomerat pendiri Lippo Group, Mochtar Riady. James menawarkan pinjaman kepada Hari sebesar Rp 1,6 triliun dengan bunga rendah, yang disetujui oleh Hari.
Tak lama setelah pinjaman itu cair, James Riady juga tertarik untuk berbisnis ritel. Dia membawa merek ritel terkenal asal AS, WalMart, ke Indonesia, yang didirikan tepat di depan Matahari. Situasi ini mirip dengan persaingan antara Indomaret dan Alfamart.
Kehadiran WalMart menjadi ancaman bagi Matahari. Namun, Hari tidak mau kalah dan tetap fokus pada Matahari. WalMart akhirnya kalah saing dan Matahari tetap menjadi yang terdepan.
Pada tahun 1996, berita mengejutkan datang. Hari menerima tawaran pembelian Matahari dari James. Sejak saat itu, Matahari yang beromzet Rp 2 triliun resmi menjadi milik Lippo Group.
Penjualan ini menimbulkan banyak spekulasi karena Matahari saat itu sangat sukses. Hari tidak mungkin bangkrut karena Matahari diperkirakan akan terus berjalan.
Setelah akuisisi tersebut, Matahari resmi menjadi milik Lippo Group, dan nama Hari Darmawan perlahan mulai meredup.