Trump Beri Kejutan untuk Netanyahu, Ingin Damai dengan Rival
Jakarta, PANGKEP NEWS – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tengah mempersiapkan negosiasi perdamaian dengan Iran. Ini berlawanan dengan keinginan sekutunya, Israel, yang berharap agar Iran tetap diisolasi dan bahkan diserang.
Mengutip laporan, pertemuan antara delegasi AS dan Iran bulan lalu ternyata menjadi kejutan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang baru saja tiba di Washington untuk mencari dukungan Trump guna serangan militer terhadap fasilitas nuklir Iran. Netanyahu baru mengetahui mengenai pertemuan tersebut kurang dari 24 jam sebelum kedua negara bertemu di Oman.
Seorang pejabat senior keamanan Iran menyatakan, “Pimpinan Teheran tetap sangat khawatir bahwa Netanyahu mungkin akan melancarkan serangan dengan atau tanpa kesepakatan,” seperti dikutip pada Sabtu (3/5/2025).
Dalam kurun waktu tiga minggu saja, AS dan Iran telah mengadakan tiga putaran perundingan demi mencegah Teheran mengembangkan senjata nuklir dengan imbalan pelonggaran sanksi. Putaran keempat perundingan diharapkan segera diadakan di Roma.
Menurut beberapa diplomat, kerangka kerja awal yang tengah dibahas ini sebenarnya mempertahankan inti dari Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) 2015 yang dibatalkan Trump pada 2018 saat masa jabatan pertamanya.
“Kesepakatan itu mungkin tidak terlihat jauh berbeda dengan pakta sebelumnya, tetapi akan memperpanjang durasinya hingga 25 tahun, memperketat verifikasi, dan memperluas apa yang disebut klausul sunset yang menghentikan, tetapi tidak sepenuhnya membongkar, aspek-aspek program nuklir Iran,” ungkap beberapa sumber.
Iran akan membatasi ukuran stok dan jenis sentrifusnya, dan mengencerkan, mengekspor, atau menyegel 60% stok uraniumnya di bawah pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA), semua dengan imbalan pelonggaran sanksi yang signifikan.
Dennis Ross, mantan negosiator dari Partai Republik dan Demokrat, menyatakan bahwa setiap perjanjian baru harus lebih dari sekadar JCPOA dengan menerapkan perubahan struktural permanen pada kemampuan nuklir Teheran. Ini bisa dilakukan dengan mereduksi infrastrukturnya hingga ke titik di mana mengembangkan bom bukan lagi pilihan realistis.
“Apapun yang kurang dari itu akan membuat ancaman ambang batas tetap ada,” katanya.
Namun, terdapat beberapa batasan yang harus dihindari para negosiator untuk mencapai kesepakatan dan mencegah aksi militer di masa depan. Salah satunya adalah pertanyaan mengenai kapasitas Iran untuk memperkaya uranium. Jika dihentikan sepenuhnya, hal ini bisa membuat Teheran bergantung pada uranium impor untuk reaktor nuklir Bushehr.
“Iran menyatakan haknya untuk memperkaya tidak dapat dinegosiasikan. Namun, ukuran stok uranium, pengiriman stok ke luar negeri, dan jumlah sentrifus sedang dibahas,” ungkap tiga pejabat Iran.
Dalam proposal yang dibahas pada putaran pembicaraan bulan April, Iran akan membatasi pengayaan pada 3,67%. Teheran juga bersedia memberikan IAEA akses yang lebih luas ke lokasi nuklirnya.
“Usulan ini tidak bertujuan untuk membongkar seluruh infrastruktur nuklir Teheran seperti yang diinginkan Israel dan beberapa pejabat AS, tetapi bertujuan untuk mengunci pembatasan permanen pada pengayaan uranium yang mencegah pelanggaran,” tutur sumber-sumber.
Alex Vatanka, peneliti senior dan direktur pendiri program Iran di Middle East Institute di Washington, menyebutkan salah satu jalan keluar dari kebuntuan ini adalah Iran menyetujui penangguhan jangka panjang untuk program pengayaan uranium melalui perpanjangan klausul penghentian.
“Jika Iran bijak, mereka akan menerima klausul penghentian yang lebih panjang di masa depan. Namun, penting untuk menekankan bahwa masing-masing pihak harus dapat mengklaim kemenangan dalam negosiasi,” pungkasnya.